Jumat, 01 Juni 2012

identifikasi cerpen


BAHAN AJAR
IDENTIFIKASI CERPEN
Cerpen merupakan salah satu genre sastra selain novel, puisi, hikayat, dan naskah drama. Seperti halnya novel, cerpen dapat dikategorikan sebagai karya prosa fiksi. Cerita pendek sering disebut sebagai cerita rekaan yang relative pendek karena dapat selesai dibaca dalam satu kalipembacaan. Dalam penyajiaannya, cerpn disusun secara cermat dan hemat serta berfokus pada satu pokok permasalahan.
Setelah dapat dijadikan sebagai salah satu media hiburan, kegiatan membaca cerpen pun dapat memberikan pelajaran berharga bagi Anda. Hal tersebut dapat Anda petik melalui nilia-nilai yang hendak dismpaikan oleh pengarang.
Dalam sebuah karya sastra, pengarang seringkali mengekspresikan berbagai fenomena kehidupan. Akan tetapi, seorang pengarang tidak begitu saja mempresentasikan realitas sosial tersebut kedalam karyanya. Filtrasi serta imajinasi pengarang pun memiliki andil dalam  terwujudnya sebuah karya sastra. Melalui karya sastra, pengarang dapat mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu hal dan menyampaikan berbagai nilai kehidupan, seperti nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial.
Sudah berapa banyak cerpen tentang kehidupan sehari-hari yang perna And abaca? Tentunya telah banyyak cerpen yang And abaca. Untuk lebih memahami materi pembelajaran kali ini, dengarkanlah karya cerpen yang akan dibacakan oleh teman Anda berikut.

SANDAL JEPIT MERAH
Karya: S.Rais

Senja memerah. Langit sajikan semburat jingga yang berkobar di batas horizon. Sesaat lagi malam akan menebarkan keremgangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam mulai melepaskan diri dari jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai mmeredupkan kehidupannya. Aromma sepi mulai menyebar ke setiap celah udara. Berbondong-bondong angin malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetas.
Di salah satu sudut remang, seorang perempuan tua berselonjor di atas sebuah bangku bamboo. Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya seakan bicara tentang lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang ada di belakang gubuk reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata kehitaman yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai cara untuk memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah tua, setua perjalanan kepedihannya yang menahun, dan perempuan itu tak mampu lagi menikmati tarian kunang-kunang yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.
Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu saja di bawah bangku bamboo. Sandal itu ddihinggapi lubang di sana- sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak-bercak kecoklatan. Seperti darah yang mongering. Ya darah! Bahkan, diatas permukaan salah satu sandal itu masih terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari kkakinya. Dikakinya mmasih terdapat serpih pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan. Pecahan kaca yang tadinya berada di gunduhkan sampah belakng rumahnya itu telah bercampur dengan darah merah, darh yang terus menumpuk di atas sandal jepit merahnya.
Lima tahun telah berlalu setelah Mamat mengawini perempuan itu dalam usia belia. Lima belas tahun. Sebagai anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak akan mungkinmenolak lammaran Mamat, lelaki berumur dua puluh lima, yang begitu saying padanya. Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar  di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu isianya baru enam belas.
Anak laki-laki itu dinamainya Zaenal Mutakin yang tumbuh sebagai anak yang pintar, cerdas, dan pandai bernyanyi. Tak terhitung doa dan harapan yang diajukannya pada Sang Peencipta demi masa depan anaknya itu. Dalam pelukan mimpi, seringkali ia melihat anaknya tumbuh menjadi laki-laki tampan, terkadang menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang selalu jadi motivasinya untuk selalu bersemangat menjalani hidup  meski dililit beban sesulit apapun.
Tetapi, mimpi-mimpi itu harus mati dilindas hari. Di suatu senja yang memerah, burung gagak bertengger di atap kamar kontrakannya. Berbondong-bondong para tetangga mendatanginya  yang sedang memasak agar-agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil mengendong Zaenal mungil yang baru berusia empat tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup. Matanya terpejam bagai putrid tidur. Tangannya menggelantuung lemas. Tak ada napas. Langit merah mulai menghitam setelah keriuhan dihamtam lantunan adzan. Air mata membanjir. Zaenal mungil telah pergi dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampong terlalu dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan, tubuhnya tellah mengambang bagai perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna merah darah kesayanggan Zaenal mungil terbujur bisu.
Empat puluh hari setelah kematian Zaenal mungil kesayangannya, perempuan iitu selalu melangkah Dallam mata kosong di atas sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai begitu saja setelah cahaya hatinya pergi dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya dalam hidupnya, tak terkecuali suami yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Kematian Zaenal mungil telah menimbun kebencian dalam benak Mamat. Masih terngiang di telinga perempuan itu ketika Mamaat mencacinya habis-habisan setelah tahu buah hatinya  pergi mendahului.
“Ampun, Kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua sudah jjadi takdir-Nya. Terimalah, Kang, Saya ibunya, saya lebih pedih ketimbang akang. Maafkan saya, Kang!”
“ Pergi kamu!”
Perempuan itu memeluk kaki suaminya sambil menangis hebat penuh penyesalan. Tetapi tak ada ampun dari Mamat, perempuan itu ditendangnya. Kepalanya membentur dinding, tubuhnya tersungkur di atas sandal jepit merahnya. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Sandal jepit merahnya kini dibasahi air matanya.
Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tahu suaminya berniat mengawini perempuan lain. Ia hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benaradanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya berharap suaminya mau memmaafkannya dan tetap mencintainya seperti lima tahun yang lalu.
Tetapi, harapannya kembali using. Suatu hari, ketika peempuan yang telah diusir suaminya itu bermaksud kembali ke kontrakannya, kamar penuh kkenangan itu kosong. Tak ada yang tahu kemana perginya sang suami harapannya. Iaa hanya mendengar kabar bahwa suaminya akan tinggal di desa asal istri barunya, entah di mana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah merah semerah sandal jepitnya. Ia gampang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya melangkah mengikuti helai demi helai angin yang sinar setelah menyapanya. Ia berjalan menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal jepit merah. Entah harus kemana lagi.
Berpuluh-puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung pada siang dan malam. Ia hanya gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas kasihan  orang yang lalu lalang di depan tempat duduknya. Pernah, suatu ketika ia mendapat pekerjaan sebagai seorang pembantu dirumah tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melaikan sebuah tempat jual beli narkoba. Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki.  Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh peremppuan-peremp[uan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu. Dengan uang yang dikumpulkannya, iaa membeli sebuah gubuk reyot yang ada di sekitar tempat pembuangan sampaah di kota lain. Di ssitulah ia memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku bekas gunung. Dan itu berlalu beggitu saja, berpuluh-puluh tahun lamanya.
Malam masih menyajikan aroma kessunyian di seekitaar gubuk reyot itu. Bulan pucat memandanginya dari balik banyang awan hitam. Lampu temple di dindiing kini telah dihinggapi jelaga seiring denggan malam yang semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya dengan air dingin. Luka-luka mongering di telapak kakinya bagai prasasti yang menceritakan bagaimana kepedihan hidupnya selama ini, selama puluhan tahun. Seiring dengan pergantian waktu, sandal jepit merahnya yang ddulun telah berkali-kali digaanti dengan sandal jepit merah baru. Kini ssandal jepit merahnya telah banyak dihinggapi lubang dan bercak darah karena tusukan beling dan paku berkaarat, dan ia harus menggantinya dengan sandal jepit merah yang baru.

Bagaimana tanggapan Anda mengenai cerpen “ Sandal Jepit Merah” yang telah dibacakan oleh teman Anda tersebut? Dapatkah Anda memahaminya? Jika belum, baca kembali cerpen tersebut dengan seksama.
Kemudian, dapatkah Anda menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen tersebut? Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam sebuah karya cerpen terdapat gagasan yang hendak disampaikan oleh pengaarang. Gagasan tersebut muncul bersama nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
1.      NILAI MORAL
Dalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan tua yang memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu hidup bahagia. Akan tetapi, seteelah kematian anak semata wayangnya, hidupnya berubah menjadi sebuah kesdihan yang berkepanjangan. Akan tetapi, permpuan itu tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan  hidupnya. Bahkan, perempuan tersebut tetap tegar dengan pendiriannya saat dirinya hamper terjerumus ke dalam lembah hitam. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipann berikut.
“Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh peremppuan-peremp[uan cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana penuh dosa itu”.
Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengarang hendak mengemukakan bahwa meskipun kita didera kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh nafsu dunia. Kita harus  berpegang teguh pada pendirian kita dan pada ajaran agama.
2.      NILAI BUDAYA
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari perilaku kehidupan sosial masyyarakat di suuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Nilai budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah, di antaranya kebiasaan hidup, aadat istiadat,  tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
Dalam cerpen “Sandal Jepit Merah” tersebut, masyarakat yang digambarkan adalah sekelompok orang yang tinggal dikawasan pinggiran kota. Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar  di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu isianya baru enam belas”.
3.      NILAI  SOSIAL
Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang dikemukakan oleh pengarang. Di antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani kehidupan sebagai seseorang yang miskin. Hal tersebut dapat diamati dalam kutipan berikut.
“Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendiddikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki”.
Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan perkotaan yang suram. Dalam cerpen tersebut diceritakan mengenai kehidupan tokoh utama yang menyambung hidup di tengah-tengah kezaliman. Ia terpaksa meenjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba dan tempat lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

” Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki.  Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila”.






















LEMBAR KERJA SISWA
LKS
Dengarkanlah cerpen yang akan dibacakan oleh salah satu teman Anda,kemudian uraikanlah nilai-nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial yang terkandung dalam cerpen tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar