BAHAN AJAR
IDENTIFIKASI CERPEN
Cerpen merupakan salah satu genre
sastra selain novel, puisi, hikayat, dan naskah drama. Seperti halnya novel,
cerpen dapat dikategorikan sebagai karya prosa fiksi. Cerita pendek sering
disebut sebagai cerita rekaan yang relative pendek karena dapat selesai dibaca
dalam satu kalipembacaan. Dalam penyajiaannya, cerpn disusun secara cermat dan
hemat serta berfokus pada satu pokok permasalahan.
Setelah dapat dijadikan sebagai
salah satu media hiburan, kegiatan membaca cerpen pun dapat memberikan pelajaran berharga bagi Anda. Hal
tersebut dapat Anda petik melalui nilia-nilai yang hendak dismpaikan
oleh pengarang.
Dalam sebuah karya sastra,
pengarang seringkali mengekspresikan berbagai fenomena kehidupan. Akan tetapi,
seorang pengarang tidak begitu saja mempresentasikan realitas sosial tersebut
kedalam karyanya. Filtrasi serta imajinasi pengarang pun memiliki andil dalam terwujudnya sebuah karya sastra. Melalui karya
sastra, pengarang dapat mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu hal
dan menyampaikan berbagai nilai kehidupan, seperti nilai moral, nilai budaya,
dan nilai sosial.
Sudah berapa banyak cerpen
tentang kehidupan sehari-hari yang perna And abaca? Tentunya telah banyyak
cerpen yang And abaca. Untuk lebih memahami materi pembelajaran kali ini,
dengarkanlah karya cerpen yang akan dibacakan oleh teman Anda berikut.
SANDAL JEPIT MERAH
Karya: S.Rais
Senja memerah. Langit sajikan semburat jingga yang berkobar
di batas horizon. Sesaat lagi malam akan menebarkan keremgangan yang membaur
bersama napas kesunyian. Perlahan, alam mulai melepaskan diri dari jeratan
hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai mmeredupkan kehidupannya. Aromma
sepi mulai menyebar ke setiap celah udara. Berbondong-bondong angin malam mulai
menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam. Malam pun menetas.
Di salah satu sudut remang, seorang perempuan tua berselonjor
di atas sebuah bangku bamboo. Dipijatnya urat-urat kaki yang menegang akibat
rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya seakan bicara tentang
lelah yang telah menggunung seperti tumpukan sampah yang ada di belakang gubuk
reyotnya. Matanya layu dan redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata
kehitaman yang makin melebar. Sesekali, dikedipkan dalam-dalam, sebagai cara untuk
memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya
telah tua, setua perjalanan kepedihannya yang menahun, dan perempuan itu tak
mampu lagi menikmati tarian kunang-kunang yang muncul sebagai teman dalam pekat
malamnya.
Sepasang sandal jepit tipis berwarna merah tergeletak begitu
saja di bawah bangku bamboo. Sandal itu ddihinggapi lubang di sana- sini. Tak
hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak-bercak kecoklatan. Seperti
darah yang mongering. Ya darah! Bahkan, diatas permukaan salah satu sandal itu
masih terdapat darah segar. Darah itu bermuncrat dari kkakinya. Dikakinya
mmasih terdapat serpih pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan. Pecahan kaca
yang tadinya berada di gunduhkan sampah belakng rumahnya itu telah bercampur
dengan darah merah, darh yang terus menumpuk di atas sandal jepit merahnya.
Lima tahun telah berlalu setelah Mamat mengawini perempuan
itu dalam usia belia. Lima belas tahun. Sebagai anak yatim piatu sebatang kara,
perempuan itu tak akan mungkinmenolak lammaran Mamat, lelaki berumur dua puluh
lima, yang begitu saying padanya. Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan,
Mamat mampu membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin
lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun saat itu
isianya baru enam belas.
Anak laki-laki itu dinamainya Zaenal Mutakin yang tumbuh
sebagai anak yang pintar, cerdas, dan pandai bernyanyi. Tak terhitung doa dan
harapan yang diajukannya pada Sang Peencipta demi masa depan anaknya itu. Dalam
pelukan mimpi, seringkali ia melihat anaknya tumbuh menjadi laki-laki tampan,
terkadang menjadi dokter, olahragawan, bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang
selalu jadi motivasinya untuk selalu bersemangat menjalani hidup meski dililit beban sesulit apapun.
Tetapi, mimpi-mimpi itu harus mati dilindas hari. Di suatu
senja yang memerah, burung gagak bertengger di atap kamar kontrakannya.
Berbondong-bondong para tetangga mendatanginya
yang sedang memasak agar-agar untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin
rombongan sambil mengendong Zaenal mungil yang baru berusia empat tahun itu.
Tubuh bocah itu kuyup. Matanya terpejam bagai putrid tidur. Tangannya
menggelantuung lemas. Tak ada napas. Langit merah mulai menghitam setelah
keriuhan dihamtam lantunan adzan. Air mata membanjir. Zaenal mungil telah pergi
dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampong terlalu dalam untuk
direnanginya tadi siang. Saat ditemukan, tubuhnya tellah mengambang bagai
perahu. Di pinggir sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna merah darah
kesayanggan Zaenal mungil terbujur bisu.
Empat puluh hari setelah kematian Zaenal mungil
kesayangannya, perempuan iitu selalu melangkah Dallam mata kosong di atas
sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai begitu saja setelah cahaya
hatinya pergi dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya dalam hidupnya, tak terkecuali
suami yang selama ini dicintainya sepenuh hati. Kematian Zaenal mungil telah
menimbun kebencian dalam benak Mamat. Masih terngiang di telinga perempuan itu
ketika Mamaat mencacinya habis-habisan setelah tahu buah hatinya pergi mendahului.
“Ampun, Kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua
sudah jjadi takdir-Nya. Terimalah, Kang, Saya ibunya, saya lebih pedih
ketimbang akang. Maafkan saya, Kang!”
“ Pergi kamu!”
Perempuan itu memeluk kaki suaminya sambil menangis hebat
penuh penyesalan. Tetapi tak ada ampun dari Mamat, perempuan itu ditendangnya.
Kepalanya membentur dinding, tubuhnya tersungkur di atas sandal jepit merahnya.
Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Sandal jepit merahnya kini dibasahi air
matanya.
Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tahu suaminya
berniat mengawini perempuan lain. Ia hanya pasrah, berharap kabar itu tidak
benaradanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya berharap suaminya mau
memmaafkannya dan tetap mencintainya seperti lima tahun yang lalu.
Tetapi, harapannya kembali using. Suatu hari, ketika peempuan
yang telah diusir suaminya itu bermaksud kembali ke kontrakannya, kamar penuh
kkenangan itu kosong. Tak ada yang tahu kemana perginya sang suami harapannya.
Iaa hanya mendengar kabar bahwa suaminya akan tinggal di desa asal istri
barunya, entah di mana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah merah
semerah sandal jepitnya. Ia gampang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya
melangkah mengikuti helai demi helai angin yang sinar setelah menyapanya. Ia
berjalan menyusuri kehidupan dialasi sepasang sandal jepit merah. Entah harus
kemana lagi.
Berpuluh-puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung
pada siang dan malam. Ia hanya gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas
kasihan orang yang lalu lalang di depan
tempat duduknya. Pernah, suatu ketika ia mendapat pekerjaan sebagai seorang
pembantu dirumah tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga yang diurusinya, melaikan
sebuah tempat jual beli narkoba. Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam
yang dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah
pendidikan formal bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah
menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini. Berkali-kali majikannya, seorang
Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja sebagai pengedar barang haram
tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau
sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada
penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh peremppuan-peremp[uan
cantik yang sering berkumpul di rumah majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan
memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita
tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana
penuh dosa itu. Dengan uang yang dikumpulkannya, iaa membeli sebuah gubuk reyot
yang ada di sekitar tempat pembuangan sampaah di kota lain. Di ssitulah ia
memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku bekas gunung. Dan itu
berlalu beggitu saja, berpuluh-puluh tahun lamanya.
Malam masih menyajikan aroma kessunyian di seekitaar gubuk
reyot itu. Bulan pucat memandanginya dari balik banyang awan hitam. Lampu
temple di dindiing kini telah dihinggapi jelaga seiring denggan malam yang
semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya dengan air dingin. Luka-luka mongering
di telapak kakinya bagai prasasti yang menceritakan bagaimana kepedihan
hidupnya selama ini, selama puluhan tahun. Seiring dengan pergantian waktu,
sandal jepit merahnya yang ddulun telah berkali-kali digaanti dengan sandal
jepit merah baru. Kini ssandal jepit merahnya telah banyak dihinggapi lubang
dan bercak darah karena tusukan beling dan paku berkaarat, dan ia harus
menggantinya dengan sandal jepit merah yang baru.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai cerpen “ Sandal Jepit
Merah” yang telah dibacakan oleh teman Anda tersebut? Dapatkah Anda
memahaminya? Jika belum, baca kembali cerpen tersebut dengan seksama.
Kemudian, dapatkah Anda menemukan nilai-nilai yang terkandung
dalam cerpen tersebut? Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dalam sebuah
karya cerpen terdapat gagasan yang hendak disampaikan oleh pengaarang. Gagasan
tersebut muncul bersama nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
1. NILAI MORAL
Dalam cerpen tersebut dikisahkan tentang seorang perempuan
tua yang memiliki masa lalu yang sangat menyedihkan. Awalnya, perempuan itu
hidup bahagia. Akan tetapi, seteelah kematian anak semata wayangnya, hidupnya
berubah menjadi sebuah kesdihan yang berkepanjangan. Akan tetapi, permpuan itu
tidak pernah putus asa. Dia terus berjuang untuk mempertahankan hidupnya. Bahkan, perempuan tersebut tetap
tegar dengan pendiriannya saat dirinya hamper terjerumus ke dalam lembah hitam.
Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipann berikut.
“Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya
untuk bekerja sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita
tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil.
Ia tidak tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang
didapat oleh peremppuan-peremp[uan cantik yang sering berkumpul di rumah
majikannya itu.
Lama-lama ia tidak tahan juga, apalagi setelah sang majikan
memmaksanya untuk mengukuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita
tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana
penuh dosa itu”.
Dari kutipan tersebut, ada sebuah nilai moral yang hendak
disampaikan oleh pengarang. Pengarang hendak mengemukakan bahwa meskipun kita
didera kesulitan hidup, kita tidak boleh terjebak oleh nafsu dunia. Kita
harus berpegang teguh pada pendirian
kita dan pada ajaran agama.
2. NILAI BUDAYA
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang bertolak dari
perilaku kehidupan sosial masyyarakat di suuatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Nilai budaya tersebut dapat mencakup berbagai masalah, di
antaranya kebiasaan hidup, aadat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.
Dalam cerpen “Sandal Jepit Merah” tersebut, masyarakat yang
digambarkan adalah sekelompok orang yang tinggal dikawasan pinggiran kota.
Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah. Hal tersebut dapat
dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Dengan bekal keterampilan di bidang bangunan, Mamat mampu
membiayai hidupnya dan menyewah sepetak kamar
di pinggiran kota. Kebaahagiaannya makin lengkap setelah dari rahimnya
lahir seorang anak sehat walaupun saat itu isianya baru enam belas”.
3. NILAI
SOSIAL
Dalam cerpen tersebut terdapat beberapa nilai sosial yang
dikemukakan oleh pengarang. Di antaranya adalah mengenai sulitnya menjalani
kehidupan sebagai seseorang yang miskin. Hal tersebut dapat diamati dalam
kutipan berikut.
“Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendiddikan
formal bagai mendaki gunung tanpa kaki”.
Dalam cerpen ini, juga ditampilkan gambaran sosial kehidupan
perkotaan yang suram. Dalam cerpen tersebut diceritakan mengenai kehidupan
tokoh utama yang menyambung hidup di tengah-tengah kezaliman. Ia terpaksa
meenjadi seorang pembantu rumah tangga di sebuah tempat jual beli narkoba dan
tempat lokalisasi wanita tunasusila. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut.
” Bertahun-tahun, ia hidup dalam dunia hitam yang dikutukinya
dalam hati. Baginya tak ada jalan lain. Hidup tanpa izasah pendidikan formal
bagai mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin
keajaiban Tuhan pulalah yang telah menhatarkannya pada pekerjaannya saat ini.
Berkali-kali majikannya, seorang Bandar narkoba, menawarinya untuk bekerja
sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagai wanita tuna susila”.
LEMBAR KERJA SISWA
LKS
Dengarkanlah cerpen yang akan dibacakan oleh salah satu teman
Anda,kemudian uraikanlah nilai-nilai moral, nilai budaya, dan nilai sosial yang
terkandung dalam cerpen tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar